free web counter

ujung pangkah

Saturday, January 5, 2013 0 comments
  1.  Pangkah Penge Mekkah



Pangkah merupakan nama desa yang berada di wilayah kecamatan Ujungpangkah, kecamatan paling utara wilayah kabupaten Gresik. Wilayah Pangkah berada di pantai utara Pulau Jawa. Pangkah sejak tempo dulu  mempunyai fungsi yang sangat strategis baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang keagamaan.
Pantai Pangkah dulu menjadi pelabuhan bagi para pedangan yang berasal dari luar pulau maupun pedagang dari mancanegara. Begitu juga, tempo dulu pelabuhan Pangkah dijadikan sebagai pangkalan para penyebar agama Islam di pulau Jawa, khusunya di Jawa Timur. Sebagai salah satu bukti bahwa Pangkah tempo dulu sebagai pelabuhan yang amat penting peranannya adalah masih adanya bukti sejarah berupa bangkai kapal Belanda. Bangkai kapal itu menjadi saksi bisu keberadaan pelabuhan Pangkah. Cerobong bangkai kapal itu hingga kini masih dapat disaksikan.
Pangkah yang dijadikan sebagai nama desa itu merupakan akronim. Kata Pangkah berasal dari kata pang dan Mekkah. Kata pang berasal dari bahasa Jawa yang berarti cabang, sedangkan Mekkah adalah nama kota yang berada di Saudi Arabia. Dari nama itu dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara Pangkah dengan Mekkah, sebagaimana kota Aceh yang dikenal dengan panggilan kota Serambi Mekkah. Aceh dalam sejarah penyebaran agama Islam memang dijadikan sebagai pintu masuk bagi penyebar agama Islam di pulau Sumatera. Begitu juga dengan nama Pangkah yang dikaitkan dengan nama kota suci Mekkah.
Tempo dulu Pangkah merupakan wilayah yang dianggap angker, wingit. Tidak seorang pun yang berani tinggal di wilayah Pangkah. Pangkah dikenal sebagai wilayah gong liwang liwong, karena Pangkah masih jalma mara jalma mati. Setiap ada orang yang mencoba tinggal di Pangkah orang itu tidak pernah kembali dan tidak ada kabar beritanya. Oleh karena itu, Pangkah dianggap sebagai daerah larangan. Orang-orang sekitar wilayah Pangkah tidak ada yang berani memasuki wilayah Pangkah. Mengapa Pangkah dikenal sebagai wilayah yang angker? Menurut penuturan leluhur Pangkah karena Pangkah dijadikan sebagai tempat pengasingan bagi makhluk gaib yang berada di wilayah Jawa Dwipa atau pula Jawa akibat tumbal kalimasodo yang dipasang oleh Syekh Subakir, anggota Wali Songo periode pertama, untuk menundukkan makhluk gaib di pulau Jawa yang selalu mengganggu.
Suatu saat datang seorang pengembara yang dikenal oleh orang Pangkah dengan nama Jeniko atau Ki Ageng Jumika. Jumiko dipercaya sebagai satu-satunya orang pertama yang mampu tinggal di Pangkah. Jeniko tinggal di Pangkah hingga beranak pinak. Untuk menyelamatkan keluarganya dari gangguan makhluk gaib Jeniko mengikuti jejak Syekh Subakir dengan memasang tumbal atau jimat di empat pojok desa Pangkah dan satu berada di tengah-tengah desa. Jimat itu dikenal dengan nama Jimat Poncopat. Poncopat dari kata ponco dan pat. Ponco dari kata panca yang artinya lima dana pat dari kata papat (Jawa) yang artinya empat. Dinamai Poncopat karena jimat itu berjumlah lima dan diletakkan di empat pojok desa.
Sepeninggal Jeniko, Pangkah mengalami kefakuman kepemimpinan hingga beberapa puluh tahun. Baru sekitar tahun 1500-an masehi, Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban datang di Pangkah untuk menyebarkan agama Islam. Menurut buku Asal Usul Orang Pangkah yang ditulis oleh Syekh Muridin, keturunan kelima Sunan Bonang, Jayeng Katon datang pertama kali dan tinggal di Koang, salah satu pedukuan di desa Kebuagung kecamatan Ujungpangkah, Situs peninggalan Jayeng Katon di Koang sampai sekarang masih dapat ditemukan yaitu berupa sumur dan pondasi pondoknya Namun, karena merasa kurang cocok untuk perkembangan penyebaran agama Islam ke depan, akhirnya Jayeng Katon berpindah di Pangkah.
Di Pangkah Jayeng Katong ditemani adiknya yang bernama Jayeng Rono, juga Pendel Wesi putra pertamanya. Di Pangkah Jayeng Katon mendirikan rumah di tepi pantai. Rumah tinggal Jayeng Katon juga difungsikan sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam. Rumah itu akhirnya dikenal sebagai Pondok Pangkah. Perkembangan Pondok Pangkah sangat pesat sehingga menggugah hati Sunan Bonang ayahanda Jayeng Katon mengutus Kyai Mskiriman untuk mengirimkan kayu jati sebagai bahan pedirian masjid. Berkat kiriman kayu dari Sonan Bonang itu berdirilah sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jamik Pangkah. Kini, masjid itu bernama Masjid  Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah.
Ketika Jayeng Katon datang di Pangkah, Nyai Jika (istri Jayeng Katon) sedang melaksanakan ibadah haji di kota suci Mekkah. Nyia Jika, nama panggilan istri Jayeng Katon, sepulang dari Mekkah atas petunjuk Sunan Bonang mengikuti jejak suaminya ke Pangkah. Nyai Jika adalah putri saudagar kaya raya di kota Mekkah.
Pasangan suami istri Jayeng Katon dan Nyia Jika sama-sama berasal dari keturunan orang-orang Mekkah. Oleh karena itu, keturunan Jayeng Katon dan Nyai Jika disebut orang Pangkah karena keturunan orang Pangkah berasal dari orang dari Mekkah. Berarti orang Pangkah cabang atau pang orang Mekkah.
Pada zaman penjajahan Belanda, Pangkah masih menjadi satu wilayah administratif sebagai satu desa. Namun, dengan perkembangan penduduk yang pesat dan pembukaan lahan-lahan garapan penduduk yang semakin melebar, menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, Pangkah dibagi menjadi dua desa, yaitu Deda Pangkahwetan dan Desa Pangkahkulon. Desa Pangkah dijadikan sebagai ibu kota kecamatan dengan nama Ujungpangkah.
Orang Pangkah sebagai keturunan orang Mekkah semakin sempurna dengan adanya kurma yang hidup dengan subur di halaman dan kuburan Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Dari enam pohon kurma yang ada, sudah ada dua pohon yang sudah berbuah sekitar bulan Maret 2009/ Rabiul Awal 1430 yang lalu. Banyak yang tidak percaya bahwa pohon kurma itu berbuah. Namun, setelah menyaksikan sendiri, mereka baru percaya. Berita itu tersebar dari mulut ke mulut sehingga menjadi iklan gratis. Tanpa harus mengeluarkan beaya berita itu tersebar luas. Bahkan, sudah ada masyarakat yang datang meminta biji kurma itu untuk obat penyakit bagi keluarganya yang sakit.
Pohon kurma tersebut hasil pembibitan yang dilakukan oleh Bapak H. Ahmad Jazim dari kurma yang dibawa sepulang dari melaksanakan ibadah haji pada tahun 1999. Bapak H. Ahmad Jazim adalah termasuk orang yang lama menjadi Takmir Masjid Ainul Yaqin Ujungpangkah. Kini beliau sebagai salah seorang anggota Penasihat Masjid Jamik Ainul Yaqin. Disamping beliau aktif sebagai Takmir Masjid, beliau juga seorang Purnawirawan TNI yang pernah ditugaskan di Palembang dan Maluku. Atas jasa beliau, ikon Pangkah sebagai cabang atau keturunan Mekkah  semakin melekat di hati generasi muda Ujungpangkah.








                  Jiwosuto Putra Sunan Bonang Tuban

Jiwosuto adalah salah seorang tokoh legendaris Ujungpangkah. Setiap orang Ujungpangkah mengenal ketokohannya. Beliau seorang ulama yang memiliki ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Namanya tidak hanya dikenal oleh masyarakan Ujungpangkah dan sekitarnya. Hampir di setiap perguruan kanuragan di
Nama asli Jiwosuto adalah Syeh Abdul Hamid. Nama itu diterima dari para leluhur Ujungpangkah. Tentang asal usul Jiwosuto belum banyak diketahui masyarakat Ujungpangkah karena selama ini belum ada referensi tertulis yang dijadikan pijakan.
Lewat tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sekilas riwayat Jiwosuto berdasarkan referensi tertulis.yaitu buku Primbon Sunan Bonang. Buku primbon itu sampai sekarang diwarisi dan dipegang oleh keturunan keempat belas Sunan Bonang yang berada di Ujungpangkah Buku itu tulisan tangan Sunan Bonang. Kiyai Muridin, keturunan kelima Sunan Bonang atau keturunan keempar Jayeng Katon menambahkan sejarah asal usul Ujungpangkah dalam buku primbon tersebut.
Menurut Muridin nama panggilan awal Jiwosuto adalah Jayeng Katon. Dipanggil demikian, karena beliau mempunyai ilmu halimunan atau ilmu menghilang. Kadang beliau terlihat kadang tidak terlihat. Kata katon dari bahasa Jawa yang berarti kelihatan.
Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonang. Beliau datang ke wilayah Ujungpangkah untuk menyebarkan agama Islam. Beliau ditemani oleh putra pertamanya yang bernama Pendil Wesi dan seorang santri Sunan Bonang. Pendel Wesi putra Jayeng Katon dengan Nyai Jika, nama panggilan istri Jayeng Katon. Ketika itu Pendel Wesi masih kecil sedang Nyai Jika masih pergi melaksanakan ibadah haji. Jayeng Katon membawa kuda kesayangannya yang dipanggil Sembrani atau kuda Sembrani.
Di wilayah Ujungpangkah, mula-mula ketiga pengembara itu tinggal di Koang desa Kebunagung Ujungpangkah. Di tempat itu Jayeng Katon mendirikan pondok sebagai sarana berdakwah mengajarkan Islam kepada penduduk  Di pondoknya dilengkapi dengan sebuah sumur sebagai tempat untuk berwudlu dan mandi santri-santrinya. Di sisi sumur itu ditanami pohon beringin untuk tanda untuk mempermudah bila ada tamu yang mencarinya.
Tak seberapa lama adiknya yang dipanggil Jayeng Rono datang menyusulnya. Jayeng Rono ditugasi Sunan Bonang untuk menemani kakaknya berdakwah karena Pendel Wesi putranya masih kecil. Jayeng Katon bertemu kakaknya di pondoknya di Koang. Tempat bertemu Jayeng Rono dengan Jayeng Katon itu diabadikan sebagai nama tempat yaitu Koang. Koang dari panggilan kakang atau koang (bahasa Jawa, panggilan dari jauh).
Kedua putra Sunan Bonang itu tidak lama berdakwah di Koang dan sekitarnya. Keduanya akhirnya berpindah ke Ujungpangkah. Pondok yang ditinggalkan itu kelak diteruskan oleh putra Jayeng Rono yang bernama panggilan Sridi. Sridi mengasuh pondok itu sampai akhir hayatnya. Sridi dimakamkan tidak jauh dari pondok peninggalan Jayeng Katon. Bahkan namanya menjadi nama lomplek pemakaman itu yaitu Makam Sridi Koang.
Kedatangan ketiga keturunan Sunan Bonang di Ujungpangkah itu ditandai dengan penanaman tiga pohon asem. Asem Resik atau Semersik berada di pertigaan jalan Sitarda, Asem Growok atau Semgrowok berada jalan Jiwosuto dan Asem Angker atau Semangker. Asem Angker letaknya sekitar empat puluh meter ke utara letak Asem Growok dan sekarang berada di wilayah kampung Bauman Barat.
Di Ujungpangkah Jayeng Katon, Jayeng Rono, Pendel Wesi, dan seorang santri Sunan Bonang itu mendirikan rumah sekaligus sebagai pondok pesantren di tepi pantai Ujungpangkah. Pondok itu berada sekitar tiga puluh meter dari bibir pantai pulau Jawa. Di pondok itu, Jayeng Katon membuat sumur senggot dan beji atau jublangan yang digunakan sebagai tempat berwudlu dan mandi para santrinya. Di sisi sumur senggot terdapat watu gilang.
Keberadaan pondok Jayeng Katon mendapat sambutan dari penduduk Ujungpangkah dan sekitarnya. Banyak santri yang datang berguru ilmu agama maupun ilmu kanuragan kepada Jayeng Katon. Bahkan putra bangsawan dari Tuban datang berguru kepadanya misalnya Ronggo Janur, Ronggo Seto, dan Ronggo Lawe.
Kabar keberhasilan Jayeng Katon dalam pengembangan Islam di wilayah Ujungpangkah sampai juga ke Sunan Bonang ayahandanya di Tuban. Karena pondok Jayeng Katon belum mempunyai masjid yang dapat menampung penduduk bila melaksanakan salat Jumat, Sunan Bonang mengutus seorang santrinya mengirimkan kayu-kayu jati gelondongan untuk bahan pembangunan masjid di pondok putranya. Kayu-kayu itu dilarung ke laut. Kayu-kayu itu akan berhenti sendiri di tempat yang dituju. Kayu-kayu itu dikawal seorang santri Sunan Bonang yang dikenal dengan nama panggilan Maskiriman.
Kayu-kayu yang diikat dengan tali lingir dari tematan yang dikawal Maskiriman itu berhenti di pantai Ujungpangkah. Sebagaimana pesan Sunan Bonang kayu-kayu itu harus dijadikan sebuah masjid di tempat kayu-kayu itu berhenti. Tempat berhentinya kayu itu kini dinamai kampung Kramat karena tempat itu dianggap sebagai tempat yang kramat. Tempat berhentinya kayu-kayu itu tepat di sebelah utara pondok Jayeng Katon.
Jayeng Katon bersama kelima putranya, para santrinya dan  penduduk Ujungpangkah santri itu membangun masjid. Masjid itu semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Masjid itu beratap susun tiga. Atap susun yang paling atas semuanya terbuat dari kayu, termasuk gentingnya. Kayu penyangga atap susun ketika itu diikat dengan tali lingir. Masjid itu berukuran 12 m x 12 m dengan empat tiang sokoguru, dan 32 pilar. Di tengah-tengah masjid terdapat tangga untuk ke atas menara. Masjid itu dilengkapi dengan mimbar yang mempunyai sandi sengkala naga kale warni tunggal yang menunjukkan tahun 1428 saka/ 1506 masehi/ 911 hijriah).Masjid itu dinamai masjid Jamik artinya masjid untuk berjamaah Jumat. Masjid itu berpagar tembok keliling dengan satu pintu gapura. Pintu itu bentuknya mirip dengan pintu gapura memasuki kompleks pemakaman Sunan Bonang. Di pintu masuk terdapat batu hitam berukuran 1,5 m x  0,30 m x 0,15 m. Batu itu sejenis dengan batu yang digunakan untuk membangun Kakbah di Mekkah. Batu itu dibawa oleh Nyai Jika sepulang dari menunaikan ibadah haji. Batu hitam itu disandingi dengan batu berbentuk keris. Batu itu merupakan replika keris Aji Saka. Sejak tahun 1975, masjid itu  dinamai Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah.
Di timur Masjid terdapat alun-alun yang ditanami lima pohon beringin. Lima pohon beringin itu sebagai tempat berteduh atau bernaung. Berjumlah lima melambangkan lima rukun Islam. Lima pohon beringin mengisyaratkan lima putra Jayeng Katon yang siap membawa masyarakat Ujungpangkah di bawah perlindungan ajaran Allah yakni agama Islam. Kelima putra Jayeng Katon sebagai penerus perjuangan adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel alias Cinde Amo, dan Jaka Slining alias Jaka Tingkir.
Kelima putra Jayeng Katon mengikuti jejak abahnya dalam mengembangkan Islam. Mereka juga mendirikan pondok sebagai sarananya. Pendek Wesi mendirikan pondok Bekuto di Bekuto Ujungpangkah, Jaka Karang Wesi mendirikan pondok Rebuyut di Rebuyut Ujungpangkah, Cinde Amo mendirikan pondok Unusan di Unusan Ujungpangkah, dan Jaka Slining mendirikan pondok Sabilan di Sabilan Ujungpangkah. Hanya Jaka Berek Sawonggaling yang tidak mendirikan pondok baru karena ia mengasuh pondok Pangkah menggantikan Jayeng Katon.
Suatu hari Jayeng Katon kedatangan tamu seorang  bupati Sidayu yang bernama Kanjeng Sepuh. Sebenarnya kedatangan Kanjeng Sepuh ini bukan yang pertama melainkan sudah kali ketiga. Yang pertama beliau datang untuk meminta tolong kepada Jayeng Katon untuk merawatkan kuda, kali kedua beliau meminta tolong untuk menanamkan pohon asem di sepanjang jalan Sidayu. Kedatangan beliau kali ketiga ini juga untuk meminta bantuan. Kali ini beliau hadir dengan membawa persoalan yang berat. Betapa tidak, beliau meminta kepada Jayeng Katon untuk menghadapi seekor banteng. Kanjeng Sepuh menerima sayembara dari atasannya bahwa bupati yang bisa mengalahkan banteng akan dinaikkan pangkatnya dan diperluas wilayah kekuasaannya.
Jayeng Katon alias Jiwosuto berpikir dengan tenang dan diam beberapa saat sebelum memberikan jawaban terhadap permintaan itu. Dengan nada rendah Jayeng Katon akan berusaha membantunya. Berbunga-bunga hati Kanjeng Sepuh mendengar jawaban yang keluar dari mulut orang yang sangat dikagumi itu.
Pada saat yang telah ditentukan Kanjeng Sepuh, Jayeng Katon dan rombongan dari pejabat kabupaten Sidayu berangkat menuju alun-alun Tuban untuk menghadiri sayembara itu. Sebelum berangkat Jayeng Katon meminta kepada Kanjeng Sepuh untuk bertukar baju dengan baju dengan Jayeng Katon. Setelah bertukar baju wajah Jayeng Katon berubah menjadi Kanjeng Sepuh. Begitu juga sebaliknya.
Dalam sayembara adu dengan banteng itu Jayeng Katon yang berpakaian kebesaran kabupaten Sidayu dapat mengalahkan banteng. Banteng itu dikeplak menjadi hancur berkeping-keping. Rombangan Kanjeng Sepuh pulang ke Sidayu dengan membawa kemenangan dan perasaan lega.
Atas jasa-jasa Jayeng Katon, Kanjeng Sepuh memberikan beberapa penghargaan atau hadiah kepada Jayeng Katon. Beliau memberikan beslit kepada Jayeng Katon bila keturunan Jayeng Katon menghendaki menjadi seorang naib tinggal menunjukkan berslit tersebut. Kanjeng Sepuh juga memberikan kewenangan penuh kepada Jayeng Katon untuk mengatur pemerintahan wilayah Ujungpangkah.Ujungpangkah dijadikan sebagai tanah merdikan  atau semacam otonom di bawah kekuasaan Jayeng Katon, namun masih tetap berada di bawah wilayah kabupaten Sidayu. Disamping itu, Kanjeng Sepuh membangunkan tugu di dua pintu masuk Ujungpangkah.
Setelah peristiwa adu banteng itu, Jayeng Katon hatinya merasa sedih dan perasaan bersalah karena telah membunuh binatang yang tidak bersalah. Untuk mengobati kegundaan hatinya, beliau berkholwat di goa Melirang Bunga selama tujuh hari tujuh malam untuk meminta ampun kepada Allah. Setelah itu, beliau mengembara untuk menyebarkan Islam di nusantara sambil bersilaturrahim ke sanak famili dan para santrinya.
Dalam pengembaraan itu, suatu malam Jayeng Katon bermimpi didatangi banyak orang berpakaian serba putih. Ini merupakan isyarat bahwa umur beliau tidak lama lagi. Beliau bergegas hendak pulang ke Ujungpangkah dengan kuda sembrani kesayangannya. Sampai di desa Siraman Dukun beliau tidak sanggup melakukan perjalanan lagi. Kebetulan di tempat itu ada seorang petani yang sedang menyirami tanaman. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, beliau berpesan bila Allah mengambil ajalnya untuk mengabarkan kepada keluarganya di Ujungpangkah.
Allah menakdirkan Jayeng Katon wafat di desa Siraman. Beliau dikuburkan di desa itu oleh penduduk Siraman. Selama 25 tahun wafat Jayeng Katon penduduk dilanda wabah penyakit atau pageblug. Wabah ini menyadarkan seorang petani yang pernah diwasiati Jayeng Katon. Petani itu menyampaikan wasiat Jayeng Katon sebelum wafat kepada ulama  setempat namun, ulama itu tidak percaya begitu saja. Tokoh itu melakukan istikhoro. Hasilnya, membenarkan ucapan petani itu. Jayeng Katon yang sudah terkubur selama 25 itu minta dipindah ke Ujungpangkah.
Kuburan Jayeng Katon digali dan disaksikan Nyai Jika, istrinya, dan kelima putranya serta penduduk setempat. Jasad itu tidak berubah sama sekali. Kain kafan pembungkusnya tidak rusak tetapi masih putih seperti sedia kala. Untuk memastikan kebenarannya, kelima putra Jayeng Katon membuka kain kapannya. Subhanallah, wajah Jayeng Katon seperti orang tidur. Karena jasad beliau masih utuh tatkala dibuka, sejak saat itu Jayeng Katon dijuluki JIWOSUTO..
Kabar pemindahan jasad Syekh Abdul Hamid alias Jayeng Katon alias Jiwosuto didengar oleh keluarga Kanjeng Sepuh Sidayu. Putra Kanjeng Sepuh dan keluarga ikut menghadiri penggalian itu. Ia menyiapkan kain kafan dan keranda untuk jasad Syekh Abdul Hamid. Itu dilakukan berkat jasa-jasa Syekh Abdul Hamid kepada Kanjeng Sepuh. Namun, kain kapan tidak terpakai karena kain kapan pembungkus Syekh Abdul Hamid masih utuh seperti semula. Termasuk keranda yang disiapkan. Karena banyaknya orang yang berebut untuk membawa jasadnya. Jasad itu dibawa dari tangan ke tangan mulai dari desa Siraman Dukun sampai ke Ujungpangkah.
Ketika jasad Syekh Abdul Hamid sampai di pertigaan jalan menuju Ujungpangkah, keluarga Kanjeng Sepuh meminta agar jasad Syekh Abdul Hamid dikuburkan di sebelah Kanjeng Sepuh di Sidayu. Setiap kali jasad itu akan dibawa ke arah timur menuju Sidayu, jasad itu seperti menolak. Pembawa jasad itu tidak mampu melangkahkan kakinya ke arah Sidayu, namun tatkala diarahkan ke utara menuju ke Ujungpangkah, pembawa jasad itu seakan-akan berjalan tanpa beban. Kejadian itu berulang-ulang. Atas peristiwa itu keluarga Syekh Abdul Hamid membawa ke Ujungpangkah. Keluarga Kanjeng Sepuh menerimanya dengan lapang dada. Jasad beliau akhirnya dikuburkan di belakang Masjid Jamik Pangkah, sekarang bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah.






               
                  Beji Petilasan Syekh Maulana Ishaq




Syekh Maulana Ishaq merupakan salah seorang Dewan Dakwah Islam di Indonesia periode pertama, khususnya pulau Jawa, tempo dulu. Dewan Dakwah itu lebih dikenal dengan sebutan Walisongo karena jumlah mereka sembilan (Jawa: songo). Kesembilan Walisongo periode pertama itu adalah:
1.     Syekh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki. Beliau seorang negarawan atau ahli mengatur neraga. Pesarean beliau berada kompleks pemakaman  Pusponegoro  di Desa Gapura kabupaten Gresik. Beliau wafat pada tahun 882 Hijriah atau 1419 M.
2.     Syekh Maulana Ishaq, berasal dari Samarkan, dekat Buhara Rusia selatan. Beliau ahli dalam bidang pengobatan.
3.     Syekh Maulana Ahmad Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Pesarean beliau di Troloyo Trowulan Mojokerto.
4.     Syekh Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib atau Maroko. Beliau berdakwah keliling. Beliau wafat tahun 1465 M dan dimakamkan di Jatinom Klaten Jawa Tengah.
5.     Syekh Maulana Malik Isroil, berasal dari Turki. Beliau ahli dalam bidang mengatur negara. Beliau wafat tahun 1435 M dan dimakamkan di gunung Santri Cilegon Jawa Barat.
6.     Syekh Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia atau Iran. Beliau ahli dalam bidang pengobatan. Beliau wafat tahun 1435 M dan dimakamkan di gunung Santri Cilegon Jawa Barat.
7.     Syekh Maulana Hasanuddin, berasal dari Palestina. Beliau berdakwah keliling. Beliau wafat tahun 1462 M dan dimakamkan di samping masjid Banten lama.
8.     Syekh Maulana Alayuddin, berasal dari Palestina. Beliau berdakwah keliling. Beliau wafat tahun 1462 M dan dimakamkan di samping masjid Banten lama.
9.     Syekh Maulana Subakir, berasal dari Persia. Beliau ahli menumbali tanah yang angker yang dihuni jin-jin jahat. Syekh Subakir kembali ke Persia tahun 1462 dan wafat di sana.
Syekh Maulana Ishaq berdakwah di wilayah Blambangan dan sekitarnya. Beliau menyebarkan agama Islam secara bersembunyi-sembunyi di wilayah kerajaan Blambangan yang diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyat kerajaan Blambangan kala itu masih memeluk agama Hindu dan Budha, agama yang lebih dulu masuk ke Blambangan.
Syekh Maulana Ishaq dijadikan menantu Prabu Menak Sembuyu setelah berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Dewi Sekardadu, putri satu-satunya. Disamping itu, raja dan rakyatnya mau diajak memeluk agama Islam sesuai janjinya bila beliau berhasil menyembuhkan putrinya.
Setelah menikah dengan Dewi Sekardadu, Syekh Maulana Ishaq juga diberi kedudukan sebagai adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan. Dengan kedudukan itu beliau leluasa mengajak penduduk untuk memeluk agama Islam. Beliau tidak lagi secara bersembunyi-sembunyi dalam berdakwah tetapi secara terang-terangan. Kian hari kian banyak yang memeluk agama Islam.
Keberhasilan Syekh Maulana Ishaq dalam berdakwah di Blambangan mendapatkan tantangan dari Patih Bajul Sengara dan pembesar-pembesar Blambangan yang tidak menyukai adanya agama Islam di wilayahnya. Ia dan pengikutnya meneroro penduduk yang memeluk agama Islam agar kembali ke agama semula. Mereka juga tidak segan-segan melakukan penculikan, penyiksaan, dan penyiksaan  kepada pengikut Syekh Maulalan Ishaq.
Kebencian Patih Bajul Sengara terhadap Syekh Maulana Ishaq telah memuncak.   Suatu malam Patih Bajul Sengara dan pasukannya melakukan penyerangan ke kadipaten yang dipimpin Syekh Maulanan Ishaq. Dua pasukan sudah saling berhadap-hadapan. Namun, Syekh Maulanan Ishaq tidak mengharapkan adanya pertumpahan darah antara para pengikutnya dengan prajurit yang setia kepada Patih Bajul Sengara. Syekh Maulana Ishaq memilih meninggalkan Blambangan. Sebelum pergi beliau berpamitan kepada istrinya.
Syekh Maulana Ishaq pada tengah malam dengan hati yang berat meninggalkan istrinya dan Blambangan Beliau berjalan ke arah barat menyusuri jalan di sepanjang pantai utara Jawa. Beliau hendak menuju ke pantai Ujungpangkah yang kala itu sebagai pelabuhan atau tempat bersandarnya kapa-kapal dagang.
Setiba di pantai Ujungpangkah dan hendak meninggalkan pulau Jawa waktu Asar tiba. Syekh Maulana Ishaq akan menunaikan salat Asar sebelum naik kapal, namun beliau tidak menemukan air tawar untuk berwudlu karena tempat itu berada di tepi pantai dan asin airnya. Beliau  memohon kepada kepada Allah, dengan karomahnya tiba-tiba di dekatnya muncul sumber air tawar. Beliau berwudu dan melaksanakan salat Asar di seleh barat munculnya sumber air tawar itu. Beliau meninggalkan pulau Jawa pada tahun 1442 M dan berlayar menuju Pasai.
Tanah tempat Syekh Maulana Ishaq melaksanakan salat Asar itu menjadi masjid. Jayeng Katon bin Sunan Bonang, penyebar Islam di Ujungpangkah, membangun masjid di tempat petilasan tersebut  Masjid yang dibangun Jayeng Katon dibantu Kiyai Maskiriman, para santri Sunan Bonang dan penduduk Ujungpangkah itu bernama Masjid Jamik Pangkah, kini bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Sedangkan petilasan sumber air untuk berwudlu itu dibangun menjadi beji atau jublangan.
Beji itu berukuran 3 x 5 meter. Beji itu digunakan sebagai tempat mandi dan berwudlu para santri Jayeng Katon. Disamping membuat beji, Jayeng Katon juga membuat sumur senggot yang jaraknya 25 meter ke barat. Meskipun jaraknya dekat kedua sumber air itu  berbeda. Sumur senggot itu jernih airnya sedangkan air beji itu berubah-ubah warnanya.
Air beji itu kadangkala berwarna hijau, kadangkala berubah warna menjadi merah delima. Bahkan, suatu saat-saat tertentu air beji bisa mendidih. Saat itu adalah saat yang ditunggu-tunggu orang sebab siapa yang menggunakan air itu untuk mandi ia akan menjadi kedotan atau tidak mempan senjata apapun. Hal ini bukan mitos belaka. Suatu ketika seorang penduduk yang tiggal di tetangga masjid itu mandi saat air beji mendidih, tubuhnya menjadi kedotan padahal sebelumnya ia tidak memiliki kelebihan apa-apa. Bahkan, ada sebagian penduduk yang tidak percaya kepada orang tersebut kedotan, mereka mengadakan pengetesan. Mereka akhirnya percaya setelah membuktikan kekebalan orang tersebut.
Pada waktu perang merebut kemerdekaan, pejuang-pejuang Ujungpangkah yang ikut berjuang melakukan ritual khusus dengan mandi air beji agar mereka kebal terhadap senjata apapun. Setelah itu mereka dilengkapi dengan tiga batu kerikil yang diambil di atas pusara Syekh Abdul Hamid alias Jayeng Katon alias Jiwosuto.
Tidak hanya penduduk Ujungpangkah yang memanfaatkan air beji itu  Banyak penduduk dari luar kota seperti Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Malang, Madura, bahkan dari Jawa Tengah memanfaatkan air beji itu sebagai sarana penyembuhan dan kekebalan. Biasanya mereka mandi usai melakukan lelaku pada bulan Sela. Mereka mengakhiri lelaku dengan mandi di beji tersebut.
Air beji itu kini tidak lagi berubah seperti dulu lagi. Setelah tahun 1975 airnya menjadi jernih. Sebenarnya leluhur Ujungpangkah.sudah mengisyaratkan  bahwa  kelak air beji petilasan Syekh Maulana Ishaq itu tidak berubah-ubah lagi warna airnya jika sudah ada rel kereta naik Masjid Jamik Pangkah. Ternyata isyarat itu terbukti. Setelah pembangunan perluasan masjid pada tahun 1975, air beji sudah tidak berubah lagi. Adapun yang dimaksud dengan rel kereta itu tenyata rel pintu masjid. Memang, pintu masjid dari perluasan itu menggunakan tiga pintu yang semuanya menggunakan rel.
Meskipun air beji itu sudah tidak berubah-ubah lagi, tidak menyurutkan masyarakat untuk ngalap berkah dari pembuatnya menggunakan air itu berbagai keperluan, misalnya sarana kesembuhan, kekebalan, dan lainnya.






                           Kembange Ringin



Hampir semua orang Ujungpangkah yang berumur di atas lima puluh tahun pernah mendengar cerita itu bahwa kelak di Ujungpangkah akan ada kembange ringin. Cerita itu dituturkan secara turun-temurun. Namun, sejauh ini belum ada yang bisa menafsirkan maksudnya. Sepengetahuan mereka belum pernah ada kembang ringin sebab pohon beringin termasuk pohon yang tidak berbunga. Pohon itu langsung berbuah tanpa melalui proses berbunga terlebih dahulu. Kalau ada pohon beringin berbunga berarti imposible,tidak mungkin alias tidak masuk akal.
Jika demikian, berarti ungkapan kembange ringin tidak bisa dicerna secara arti denotatifnya saja, bisa saja ungkapan itu bermakna konotatif bahkan bermakna lambang. Hal ini sudah menjadi kebiasaan nenek moyang kita yang sering menggunakan kata-kata bermakna kias atau kata-kata bermakna lambang untuk mengemukakan sesuatu yang dianggap penting agar tidak terkesan mendahului kehendak takdir. Suatu misal ungkapan kebomas. Mana mungkin ada kerbau emas kalau bukan boneka. Namun, setelah adanya pabrik Semen Gresik orang baru menyadari bahwa ungkapan itu merupakan perlambang kalau di tempat itu ada sumber alam yang dapat diolah menjadi semen. Hasil pabrik Semen Gresik cukup bahkan lebih untuk membeli kerbau emas.
Begitu juga dengan ungkapan kembange ringin. Ini merupakan teta teki yang harus dipecahkan. Sebagian ada yang mencoba mencari jawab teka-teki itu kepada  sesepuh Ujungpangkah, namun belum menemukan jawabannya. “Kalau saatnya tiba akan tahu sendiri,” itulah jawaban yang selalu didapatkan. Sampai kapan misteri ini akan berakhir, tidak ada yang bisa memberikan kepastian.
Misteri itu mulai sedikit terkuak setelah di Ujungpangkah diadakan eksplorasi sumber minyak bumi. Ada sebagian orang yang berani menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kembange ringin itu adalah sumber minyak yang berada di wilayah perarian lepas pantai Ujungpangkah. Apa hubungannya antara kembange ringin dengan sumber minyak. Di mana logikanya, sepertinya tidak ada hubungannnya. Yang berpendapat demikian lebih lanjut mengemukakan,”Ungkapan itu sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi ada ungkapan lain yang saling berhubungan. Sebelum ditemukan kembenge ringin ditandai dengan adanya pohon asem yang bersatu dengan pohon beringin”.
Pendapat itu rupanya memang bisa dinalar. Pohon asem yang bersatu dengan pohon beringin ternyata benar-benar ada, bukan khayal belaka. Di Ujungpangkah, tepatnya di kampung Karya Bakti RW 3 desa Pangkahkulon memang terdapat asem yang disebut penduduk setempat asem gerowok. Entah, bagaimana asal-muasal pohon asem itu ditumbuhi beringin. Tidak ada yang mengetahuinya. Memang, tidak terjadi secara tiba-tiba dan tidak ada yang memperhatikan. Setelah beringin itu tumbuh menjalar ke cabang dan batang pohon asem, banyak orang melihatnya sebagai suatu keanehan.
Pohon asem itu memang termasuk pohon yang antik. Betapa tidak, disamping umurnya yang sudah ratusan tahun pohon itu batang dan cabangnya berlubang (Jawa: growok). Menurut Muridin, salah seorang generasi kelima Jayeng Katon bin Sunan Bonang, pohon asem itu merupan satu dari tiga pohon yang ditanam oleh Jayeng Katon, leluhur orang Ujungpangkah. Katanya, ada tiga pohon asem yang ditanam di Ujungpangkah untuk menandai tiga keturunan Sunan Bonang sebagai penyebar agama Islam di Ujungpangkah. Mereka itu adalah Jayeng Katon, Jayeng Rono adiknya, serta Pendil Wesi putranya.
Ketiga pohon asem itu masing-masing bernama asem resik atau semersik, asem growok atau semgrowok, dan asem angker atau semangker. Dari ketiga pohon asem itu, kini yang masih kokoh berdiri hanya asem growok, sedangkan asem resik yang berada di pertigaan jalan Sitarda dan asem angker yang berada di wilayah Kauman Utara sudah lama dipotong.
Asem growok itu ditumbui pohon beringin. Beringin itu hidup bak benalu yang tumbuh menempel pada induknya. Cabang dan ranting beringin itu melilit batang dan cabang pohon asem. Daun asem dan beringin bersatu dalam satu pohon.
Memang, tak lama setelah adanya pohon asem yang bersatu dengan beringin, di lepas pantai Ujungpangkah ditemukan sumber minyak. Apakah ini kebetulan, Wallahu a’lam. Cerita itu belum cukup sampai di sisni. Bapak Haji Sihab, pemegang pakem Ujungpangkah pernah mengatakan, “Kelak di perairan Ujungpangkah bakal ada pasar kambang.”
Orang Ujungpangkah mulai bisa membaca misteri ungkapan-ungkapan yang pernah didengarnya setelah melihat kenyataan yang terjadi di daerahnya. Pasar kambang itu mereka tafsirkan anjungan minyak yang kini telah berdiri di laut lepas Ujungpangkah karena di malam hari anjungan itu terlihat seperti  pasar malam. Anjungan itu dipasang lampu-lampu yang terang benderang.
Setelah terwujudnya anjungan eksplorasi minyak yang dibangun di lepas pantai Ujungpangkah itu berdiri orang Ujungpangkah teringat pesan yang pernah disampaikan oleh haji Sihab. Eksprorasi itu dilakukan oleh perusahaan dari Amerika yang bernama Amereda Hess.
Dengan adanya anjungan itu orang Ujungpangkah sangat mengharap agar apa yang pernah dilambangkan oleh leluhurnya benar-benar menjadi kenyataan. Kembange ringin alias sumber minyak itu.
“Bila kebange ringin telah ditemukan akan membawa Indonesia menjadi negara yang kaya raya. Hasil kembange ringin itu mampu melunasi hutang-hutang negara Indonesia sebesar apapun,”.ujar haji Sihab.
Bahkan haji Sihab menambahkan kelak presiden Indonesia yang mampu membawa negara menjadi negara kaya raya dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia adalah putra keturunan dari Ujungpangkah. Calon presiden Indonesia itu akan lahir di sebelah utara Masjid Jamik Ujungpangkah. “Pangkah bakal mengku negara,” katanya.




 TALE OF THE DISTRICT BOOK UJUNGPANGKAH GRESIK (Sunan Bonang descent TUBAN EAST JAVA)
TALE OF THE DISTRICT BOOK UJUNGPANGKAH GRESIK (Sunan Bonang descent TUBAN EAST JAVA)
People's stories have been published book Ujungpangkah Gresik regency (Sunan Bonang Descendants Tuban) by Masnukhan. Color cover, 140 pages, paper HVS, contains 20 title story:

1. Pancapat mascot Pangkah
2. Pangkah Pange Mecca
3. Mosque Tiban Pangkah
4. Ki Ageng Jumiko
5. Pendil Wesi and Princess of Egypt
6. Jake and Princess Coral Wesi Kambunan
7. Jake scabies
8. Jake Cinde
9. Jake Umbaran
10. Jiwosuto
11. Setro
12. Odyssey Jayeng Katon (Sunan Bonang Son)
13. Science thunder Kyai Mbesawon
14. Watu Malang Pangkah
15. Satrio Pandavas
16. From Pangkah to Pakah
17. Jake Duke Berek Sawonggaling
18. Syerut sheikh's son Jake Tarub
19. Sacred wells Kyai Jawal
20. Kembange ringin

Equipped also with figures who contributed to the development of Islam in Ujungpangkah.
Who need the book can contact Masnukhan, hp 085230223541; 03177058509 or come directly to the address: Jalan H. Thoyib 20 RT 1 RW 8 Pangkahwetan Ujungpangkah Gresik (East Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah Gresik)